Meratapi Nasib Blok Masela - CNBC Indonesia



Jakarta, CNBC Indonesia

- Pembahasan proyek

Lapangan Abadi blok Masela

masih terus bergulir. Sampai saat ini, proses pengerjaannya masih dalam pembahasan evaluasi biaya investasinya.

Untuk membahas proyek ini, pemerintah sampai mendatangkan sejumlah pakar migas dari luar negeri. Para pakar tersebut didatangkan dari beberapa negara, salah satunya dari Amerika Serikat (AS). Konsultan tersebut yakni Energy World Coorporation (EWC).

Memangnya, sudah sejauh mana pengerjaan proyek di Blok Masela ini?

Mari kita runutkan dari kronologinya. Blok Masela terletak di Laut Arafura, selatan Papua dan tidak jauh dari perbatasan Indonesia dengan Australia utara.

Operator Blok Masela, Inpex, menerima kontrak bagi hasil (PSC) selama 30 tahun untuk mengoperasikan blok yang sudah dicanangan dari zaman pemerintah di 1998 dan kemudian melakukan kegiatan eksplorasi hingga 2000, ketika mereka menemukan ladang gas Abadi yang diperkirakan akan menampung 6,97 triliun kaki kubik (tcf) gas.

Inpex bukan pemegang saham tunggal di blok karena 35% saham saat ini dipegang oleh raksasa minyak Royal Dutch Shell.

Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang telah digantikan oleh SKK Migas.

Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.

Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.

Berdasarkan informasi, SKK Migas awalnya menetapkan untuk menyetujui revisi PoD, tetapi kemudian gugus tugas tersebut menerima perintah dari Presiden Joko Widodo untuk mengubah rencana offshore (laut) ke onshore (darat), karena opsi yang terakhir dinilai akan memiliki dampak ekonomi yang lebih tinggi bagi masyarakat Maluku, terutama untuk Kepulauan Aru.

Namun, keputusan tersebut berdampak pada biaya investasi yang sebelumnya berdasarkan studi SKK Migas pada aspek ekonomi. Fasilitas di darat ternyata akan lebih mahal daripada fasilitas offshore, yakni sebesar US$ 15 miliar.

Serangkaian perubahan dalam beberapa tahun terakhir telah secara langsung memengaruhi tanggal onstream proyek lapangan Abadi, yang kerangka waktu awalnya ditargetkan sekitar 2018 dan kemudian mundur ke 2027 atau satu tahun sebelum PSC blok Masela berakhir.

Berdasarkan data terbaru dari SKK Migas, proyek lapangan LNG Abadi akan beroperasi pada kuartal II-2027 dengan estimasi produksi tahunan LNG sebesar 9,5 juta ton dan 150 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). SKK Migas pun sekarang memperkirakan, proyek di darat akan menelan biaya US$ 16 miliar, yang akan diproses di bawah skema PSC lama, cost recovery.

Bolak-balik masalah biaya ini dibahas, sampai pemerintah pun mendatangkan konsultan EWC. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengatakan saat ini proyek tersebut tengah dievaluasi biaya investasinya oleh SKK Migas. Dia menuturkan, bisa saja nilainya lebih rendah.

"Sedang diproses sama SKK Migas, lagi dievaluasi cost-nya, bisa saja turun," ujar Djoko kepada media saat dijumpai di Jakarta, Selasa (19/2/2019).

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Dwi Soetjipto, mengatakan, EWC dipanggil untuk memberikan masukan dalam penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development/POD) Blok Masela. Khususnya yang berkaitan dengan persoalan teknis.

Memang, seberapa rumitkah proyek Lapangan Abadi ini sampai pengerjaannya ikut abadi seperti namanya?

Guru Besar Ilmu Pertambangan dan Perminyakan ITB, Tutuka Ariadji, menilai perubahan skema dari opsi offshore (laut) ke onshore (darat) menjadi penyebabnya. Selain itu, lanjutnya, ada juga evaluasi mengenai keekonomiannya sehingga perlu dilakukan komunikasi yang intensif antar pihak-pihak terkait bersama dengan pemerintah.

"Sebab, berbeda sekali desain fasilitas permukaannya dan transportasi gas ke onshore. Juga evaluasi keekonomiannya, sehingga lebih intensif komunikasi antara pemerintah dengan pihak lainnya yang terkait," kata Tutuka ketika dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (8/2/2019).

Kendati demikian, Dwi Soetjipto memastikan, skema yang dipakai pun masih tetap skema onshore, sebab skema itu yang paling sesuai.

Sebagai informasi, sejumlah target pengerjaan tahun ini untuk proyek yang dikerjakan Inpex Corporation ini telah dipasang, yakni memperoleh POD, melakukan konsultasi publik terkait analisis dampak lingkungan (Amdal), memasukkan kerangka acuan Amdal ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta memulai survey baseline. (wed/wed)







Read More

Komentar